Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!….
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.
Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah [Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan tidak berkurang (lihat Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih lengkap lihat Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).